MENJADI PENCINTA ALAM DALAM BAHAYA!


Ruang Sudut Biru Langit (Blue Sky D4) Sebagai Tempat Dimasaknya Ide
Dok. Arsip Korpala Unhas

       Suatu waktu, seseorang pernah melantungkan doa mesra kepada Tuhan agar ia tidak ditakdirkan hidup di suatu masa yang memiliki arti penting. Namun, tak bisa dinafikkan bahwa kondisi zaman dengan sendirinya menjadi penggagas untuk melahirkan konstruksi mental dan pikiran yang mendorong kita agar memperlihatkan arti masa yang penting ini. Seorang Pencinta Alam harus membuka suara, konsekuensi logisnya mereka akan dikritik dan diserang habis-habisan oleh golongan yang merasa terancam. Pilihan lain jatuh kepada rasa ikhlas dalam mengerdikal identitas Pencinta Alam; yakni santun dan diam. Padahal sejak awal dibentuknya renungan-renungan filosofis telah diusung secara revolusioner untuk mengabarkan kepada dunia, suatu kelompok yang dengan tegas menyatakan keberpihakannya terhadap alam beserta isinya.

    Frasa Pencinta Alam yang dipelopori pertama kali oleh Awibowo sebagai “Perkumpulan Pentjinta Alam” (PPA) dengan gagah berani menawarkan diri sebagai wadah untuk mengisi kemerdekaan yang jauh dari sifat maniak atau dengan kata lain bertujuan untuk turut serta dalam memperluas rasa cinta terhadap Tuhan, manusia, juga alam beserta isinya. Oleh karena itu Awibowo lebih memilih menggunakan kata ’Cinta’ sebab kedalaman artinya tak cukup jika hanya diukur dengan seberapa sering kita bersentuhan dengan alam, seperti naik gunung, panjat tebing, susur gua, dan mengarungi lautan. Atau bisa saja kegiatan-kegiatan operasional tersebut sebagian besar memang hanya manifestasi rasa suka/gemar dengan embel-embel penelitian yang secara tersirat membahayakan alam? sebab terdengar eksploitatif. Sungguh kata ‘Cinta’ sangat luas nilainya. Lebih dari apa yang hari ini kita definisikan. Kita sedang berada di samudera yang bergolak, seorang Pencinta Alam, yang salah satu rumahnya adalah lautan, harus terus berdayung, tanpa perlu merasa setengah mati, dengan kata lain, terus hidup dan mengabdi. 

Bahasa Pencinta Alam

        Masalah sebagai Pencinta Alam tidak cukup hanya dengan mengabarkan kepada khalayak bahwa apa yang terjadi terhadap alam yang sering kita sebut sebagai rumah, tempat bermain, atau mungkin tidak berlebihan jika kita menyebutnya sekolah terancam oleh kekuasaan Negara atau mungkin sistem kapitalisme urban yang semakin cair. Tetapi masalahnya jauh lebih kompleks dan lebih berat, Pencinta Alam secara individu maupun kolektif belum sepenuhnya menyadari dirinya sebagai ‘Pen-Cinta’ yang merupakan identitas murni, bahkan secara samar dan banyak tingkah kata ‘Cinta’ di dalam dirinya sering berujung pada plesetan-plesetan yang memiliki makna yang kabur, juga nakal. Parahnya kata ‘Cinta’ seringkali juga dicari padanannya dengan kata yang hanya separuh atau bahkan tidak cukup separuh mewakili makna dasariah ‘Cinta’ yang dimaksud, misalnya petualangan, penjelajahan, hura-hura, dsb. Pencinta Alam sudah seharusnya mengartikan dirinya dalam tindakan nyata sebagai applied ethichs (etika yang teraplikasi). Terdapat dua etika khusus ‘Pencinta Alam’ yang dimaksud, yakni etika secara horizontal yang menjadi landasan filosofis saat memutuskan untuk bersentuhan langsung dengan alam bebas. Etika yang dimaksud adalah etika kepada manusia dan etika kepada alam. Tambahannya yakni pengagungan terhadapan Sang Pencipta. 
       Oleh karena itu, aktifitas-aktifitas lapangan diharapkan hanya menjadi sarana untuk mengenal alam lebih dekat, bukan sebagai tujuan primer atau dengan bahasa lain ‘Petualangan untuk petualangan’. Dengan begitu seorang Pencinta Alam lebih dulu harus mempunyai konsep tentang alam yang lebih dekat dengan dirinya, alam perlu dilihat bukan hanya sebagai objek serta semata-mata tempat untuk berkegiatan, lebih dari itu alam adalah subjek yang juga memiliki ekspresi natural untuk mengonstruksi kesadaran, kepekaan, serta hubungan intim antara manusia dengannya. Hal itu pulalah yang bisa menumbuhkan kepekaan sosial yang lebih tajam dalam melihat kondisi masyarakat pedalaman. Seperti ungkapan banyak orang “Tak kenal maka tak sayang”, kalimat tersebut memang terdengar sederhana, namun justru penilaian secara sederhana itulah yang mencerminkan kualitas pikiran seseorang. Sebab Pencinta Alam demikian hanyalah mereka yang tidak pernah membawa akal serta pikirannya dalam list packingan untuk dikemas dalam carrier. Sentuhan alam sama dengan proses penempaan cinta dan kualitas. Pikiran yang tidak ikut serta setiap kaki melangkah sama dengan mengkali nol setiap perjalanan. Ujung-ujungnya manusia yang mendeklarasikan diri sebagai ‘Pencinta Alam’ dicetak layaknya robot yang sistematis, tanpa pertimbangan pikiran sebagai kebutuhan mendasar. 


Bertahan Dalam Kabut Sebagai Anak Korpala Di Pegunungan Latimojong.
Dok. Arsip Korpala Unhas

     Cara kita memosisikan alam tentu sangat berpengaruh dengan cara kita bertingkah laku di dalamnya. Pencinta Alam yang terlalu cepat berpuas diri dan buta terhadap sejarahnya sendiri akhirnya akan jatuh pada sikap gagah-gagahan semata, yang menempatkan dirinya sebagai suatu representasi Pencinta Alam yang jauh dari kata keliru. Pencinta Alam masa kini terjebak dalam khayalan seolah telah menciptakan aturan-aturan sendiri, seperti ‘Modernisasi Pencinta Alam’ yang mengganggap telah memperbaharui Pencinta Alam, justru melakukan reduksi besar-besaran terhadap landasan filosofis yang menjadi cita-citanya. Hura-hura primitif tanpa perenungan telah mengotori rumahnya sendiri. Kita semua mungkin sudah tahu apa yang sedang saya maksud.
     Apabila keadaannya memang demikian, Pencinta Alam dapat dianggap sebagai kemewahan yang menyesatkan. Tak ada salahnya untuk berhenti sejenak dalam aktifitas lapangan seperti naik gunung, panjat tebing, susur gua, dan mengarungi lautan untuk melakukan perenungan di sekretariat masing-masing atau bisa juga di sela-sela kegiatan lapangan kita membuka ruang diskusi terbuka untuk melakukan refleksi, meskipun hanya sebentar asal saja bisa lebih dalam untuk kembali pada kemurnian arti Pencinta Alam. 
      Mereka harus segera melakukannya, duduk ngopi sembari berbincang lebih luas dari apa yang biasa diteriakkan orang-orang dalam slogan patriotisme. Pencinta Alam harus menolak untuk mengerdilkan bahkan mengucilkan diri terhadap impian ‘Modernisasi Pencinta Alam’ yang semu. Melainkan perlu memosisikan diri dengan sikap yang tegas terhadap realitas sebagaimana yang dialami, dirasakan secara langsung, dan ditanggung bersama. Karena memiliki kedekatan khusus dengan alam, seorang Pencinta Alam harus menerjemahkan ketimpangan-ketimpangan yang dilihat dan dirasakannya dengan bahasa-bahasa yang meskipun sederhana namun mampu menyentuh inti jantung paling dalam. Bahwa kebahagiaan orang-orang pedalaman, sedikit banyaknya mengalami diskriminasi perhatian. Desa-desa memang tetap perlu dijaga nilainya, namun bukan berarti hal tersebut sama dengan menelantarkan sebuah wilayah, tempat dimana orang-orang baik dan cerdas banyak bersembunyi. Desa pedalaman sekiranya memang didirikan tanpa teriakan, itulah yang membuat Pencinta Alam merasa nyaman, hanya saja kenyamanan tersebut tidak boleh melenakan. Kesetiaan pada realitas, kenyataan hidup, dan fenoma-fenomena sosial yang tidak terjamah, akan membuat para Pencinta Alam mencapai tingkat tertinggi untuk menyatu dengan bahasa dari mereka yang terpinggirkan. Bahasa antar manusia yang tidak terkotak-kotakkan. 
      Komunikasi universal sesungguhnya merupakan kondisi paling ideal dan idaman oleh semua orang, hanya saja tidak semua orang mampu mendengar semua kondisi bahasa saat ini, khususnya bahasa-bahasa desa. Orang plihan tersebut yang bisa mendengar ketenangan bahasa desa sekaligus teriakan bahasa kota salah satunya adalah para Pencinta Alam. Oleh karenanya, akan terasa sangat membingungkan jika Pencinta Alam hanya menampung itu semua lalu ‘diam’. Setelah itu, kembali ‘diam’. Begitu seterusnya. Akibatnya sesering apapun seorang Pencinta Alam menjauhkan langkahnya dalam menelusuri berbagai bentangan alam, ketika mereka tidak mampu menerjemahkan kenyataan yang dilihatnya, semua yang dilakukan pastilah nihil dan belum sempurna. Siapa lagi yang mau menerjemahkan bahasa desa? Padahal, agar mampu berbicara kepada dan untuk semua orang, Pencinta Alam harus berbicara tentang kenyataan-kenyataan yang dihadapi semua orang. Gunung, hutan, tebing, gua, lautan, serta kesederhaan hidup merupakan hal-hal yang mempersatukan kita. Baik disadari maupun tidak. Alam terbuka membuat kita semakin solid. Dan lewat alam pulalah kesadaran kritis dan pikiran tajam para Pencinta Alam ditempa, yang seharusnya pikiran tersebut tidak sekerdil carrier yang sering digendong dengan bangga. ‘Modernisasi Pencinta Alam’ harus ditolak jika semata-mata yang di modernisasikan hanyalah aktifitas di alam bebas tanpa kemajuan-kemajuan berpikir secara bersamaan. Realitas hidup manusia tidaklah terbatas pada hubungan antarmanusia, melainkan realitas hidup itu juga terbentuk karena didukung oleh kehidupan alam. Manusia dan alam saling bertaut. Terlebih Pencinta Alam dan alam.
      Pilihan yang barangkali sangat radikal dan tidak masuk akal untuk ditempuh adalah menghancurkan para Pencinta Alam jika mereka semata-mata hanya berkunjung ke alam bebas tanpa rasa merawat dan melindungi, yang merupakan ekspresi positif rasa cinta yang melekat dalam identitasnya. Sebab Pencinta Alam tetap akan eksis dengan pikiran yang merdeka di seluruh khalayak, saat mereka juga mampu memerdekakan alam dari tindak-tindak perusakan serta vandalisme yang entah disadari atau tidak dilakukan dengan bangga oleh mereka yang mengaku Pencinta Alam. Pertama-tama yang harus direnovasi atau kalau perlu dibuang jauh-jauh adalah tentang konsep pendidikan dasar di dalam lembaga Pencinta Alam yang bengkok. Pendidikan yang tidak menghargai manusia sebagaimana mestinya, entah dalam kekasaran dan kekerasan fisik, melihat manusia semata-mata sebagai wahana untuk memuaskan nafsu penindasan, pastilah juga akan mencetak manusia yang maniak untuk menghegemoni semuanya, termasuk alam. Pendidikan seperti itu sudah pasti hanya membentuk manusia tanpa kepekaan, sebab manusia yang tidak mampu menghargai sesamanya sudah barang tentu tidak akan pernah menilai alam secara berbeda sebagai subjek yang berekspresi. Atau dengan kata lain Pencinta Alam yang akan muncul kemudian tidak akan pernah menghargai alam sebagaimana sesamanya yang telah lebih dulu dikerdilkan dan diproses secara olok-olok. Adalah bahaya untuk terus menjadi Pencinta Alam dengan kondisi demikian. Setidaknya kita pasti tidak ingin mengamini ungkapan ‘Sekali Pencinta Alam selamanya menjadi bahaya bagi alam beserta isinya.’
    Di ujung tulisan ini saya akan mengutip sepenggal kalimat dari Anak Korpala yang ditulis di Buletin Lembanna, tempat para penulis serta penyair Korpala mengekspresikan alam;

Kadang pujangga kehilangan kata-kata untuk dirangkai menjadi syair. Begitu juga pencinta kadang kehabisan sanjungan untuk yang tercinta. Namun tidak demikian dengan alam. Air tetap gemericik mengalir di sungai berbatu. Angin tetap mendayu di sela-sela daun dan ranting, kehangatan mentari tetap mengantar kicau burung yang ceria. Semua berlangsung apa adanya, tanpa peduli apakah ada yang mengapresiasi atau mencerca. Seperti tidak pedulinya apakah ada yang mengekspresikan desah gelisah ataupun sorak riang dalam ritme yang terus berayun.
        Sebaiknya sebagai manusia, sekaligus sebagai Pencinta Alam sikap natural dan apa adanya adalah kemewahan yang perlu dimiliki.

Ditulis oleh Muhammad Riski K. 134 21 563,
Aktif sebagai penjaga Sudut Biru Langit (Blue Sky) Korpala Unhas.


3 Responses to "MENJADI PENCINTA ALAM DALAM BAHAYA!"