Manusia
adalah satu-satunya mahkluk hidup dimuka bumi ini yang dikaruniai akal dan
pikiran sebagai pembeda dari makhluk hidup lainnya. Dengan kelebihan tersebut,
manusia dapat berkembang dan mempertahankan hidup dengan memanfaatkan makhluk
lain disekitarnya. Himpitan perkembangan dan kebutuhan mendorong makhluk lain
untuk tunduk kepada manusia. Dengan munculnya sebuah paham Antroposentrisme membuat manusia semakin lantang dalam menganggap
makhluk hidup selain dirinya adalah objek yang semata-mata hanya penunjang bagi
pertumbuhan dan perkembangan dirinya. Manusia yang mempunyai akal dan
kecerdasan selalu menganggap dirinya sebagai pusat alam semesta, hanya terus
berfikir bahwa semua selain dirinya adalah objek yang menguntungkan. Keserakahan
Manusia sebagai makhluk yang paling mendominasi dibumi ini rupanya berdampak
buruk pada kelangsungan hidup para makhluk hidup lainnya, bahkan manusia itu
sendiri. Sadar atau tidak, semua hasil dari keserakahan manusia dalam melihat
alam semesta dapat terlihat pada kondisi hari ini. Curah hujan yang meninggi,
Cairnya lapisan es, Kekeringan yang hebat diberbagai wilayah, dan Kepunahan
flora & fauna adalah sebuah produk dari makhluk yang paling mendominasi
dimuka bumi.
Kesalahan
paradigma pembangunan yang mengacu pada konsep antroposentris menyebabkan
kehancuran besar bagi tempat hidup hewan, tumbuhan dan bahkan manusia itu
sendiri. Antonio Guterres selaku Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam pidatonya di Conference of the Parties
ke 26 (COP26) di Glasgow, Skotlandia, mendesak dunia untuk
tidak memperlakukan alam seperti toilet yang digunakan manusia untuk memenuhi
kebutuhan biologisnya. Gutteres di awal pidatonya menjelaskan bahwa ini
merupakan tahun keenam setelah Kesepakatan Iklim Paris/Perjanjian Paris (Merupakan
kesepakatan global yang monumental untuk menghadapi perubahan iklim) yang berlangsung di Markas Besar PBB,
New York, Amerika Serikat, pada hari Jumat, 22 April 2016, yang bertujuan untuk membatasi kenaikan
suhu global hingga dua derajat celcius, namun disepanjang enam tahun itulah
dunia mengalami suhu yang paling panas.
“Planet kita berubah didepan mata kita, dari kedalaman laut ke puncak
gunung, dari gletser yang mencair hingga cuaca ekstrim yang tiada henti,
peristiwa kenaikan permukaan laut dua kali lipat dari 30 tahun yang lalu,
lautan lebih panas dari sebelumnya dan menjadi hangat lebih cepat, bagian dari
hutan amazon sekarang mengeluarkan lebih banyak karbon dari pada menyerapnya.”
Gutteres juga menjelaskan rentetan perubahan iklim yang terjadi hingga saat
ini, merupakan rentetan peristiwa yang secara perlahan akan menggali kuburan
para manusia. Bahkan Gutteres mengkritisi pada pemimpin dunia yang hadir di
COP26 bahwa aksi yang dilakukan mereka untuk mengatasi perubahan iklim hanyalah sebuah ilusi. Guterres juga menyerukan kepada para pemimpin untuk merangkul perubahan yang luas,
walaupun seringkali sulit
secara politis. Dia mengatakan dunia harus mengakhiri pembangunan pembangkit
listrik tenaga batu bara dan menghentikan subsidi bahan bakar fosil. Dia telah
memohon kepada negara-negara untuk memberikan lebih banyak uang stimulus untuk
infrastruktur hijau. Dia bersikeras bahwa negara-negara kaya harus berbuat jauh
lebih banyak untuk membantu negara-negara miskin yang rentan bersiap menghadapi
bencana iklim yang memburuk. Diapun telah mendukung pajak global atas karbon
atau Pajak Karbon(Pajak karbon atau carbon tax
adalah pajak yang
dikenakan atas pemakaian
bahan bakar berbasis karbon,
yaitu seperti produk olahan minyak bumi, gas bumi dan batu bara.).
Perubahan iklim sudah jelas menjadi malapetaka bagi manusia di berbagai
belahan dunia. Beberapa bencana alam yang disinyalir adalah dampak dari
perubahan iklim terus terjadi hingga saat ini. Para peneliti dibelahan dunia,
seperti Maximiliano Herrera (Pakar klimatologi yang menyelidiki suhu
dunia) mengeklaim bahwa dalam setengah tahun 2021 sudah ada lebih dari 260
catatan suhu tinggi di 26 negara. Jumlah yang lebih banyak dari prediksi. California telah mengalami lebih dari 4.900 kebakaran
pada tahun 2021, 700 lebih banyak dari tahun 2020, Moskow mencatat hari
terpanas bulan Juni dalam 120 tahun terakhir, terjadi juga kebakaran hutan di
Siberia yang menjadi salah satu wilayah terdingin di dunia, dan berbagai
bencana Hidrometeorologi yang terjadi di Indonesia, adalah bukti yang konkrit dari
perubahan iklim yang menjadi malapetaka bagi manusia.
Tidak
hanya manusia, perubahan iklim juga berpengaruh pada kehidupan para satwa.
Rabu, 29 September 2021, Badan Perlindungan Ikan dan Margasatwa Amerika Serikat secara resmi menyatakan bahwa sebanyak 23 spesies dilindungi
telah punah. 23 spesies tersebut adalah kalelawar buah, tanaman berbunga dalam
keluarga mint, 8 kerang air tawar, 2 jenis ikan, dan 11 burung termasuk burung
pelatuk yang punah dan beberapa saat lalu sempat viral di indonesia. Perubahan
iklim dan hilangnya kawasan alami mendorong lebih cepat sebuah spesies untuk
jatuh ke jurang kepunahan. Selain
kepunahan tersebut, di salah satu tempat terdingin di dunia, Beruang kutub juga
menjadi satwa yang terancam punah karna naiknya suhu bumi akibat perubahan
iklim. Begitupun dengan hewan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu
oleh penulis, mereka terancam akibat hilangnya habitat karna pembangunan.
Dua tahun lalu organisasi
advokasi lingkungan WWF (Wildlife Fund for Nature) memperingatkan tren
penurunan yang mengejutkan terhadap populasi satwa liar dunia, mereka melakukan
studi akan hal tersebut. Direktur Jenderal WWF, Marco Lambertini mengatakan
bahwa "Penurunan serius dalam populasi spesies satwa liar ini merupakan
indikator bahwa alam sedang terurai dan bahwa planet kita menunjukkan tanda peringatan
bahaya terhadap kegagalan sistem." Kegagalan sistem yang dimaksud oleh
Marco adalah kebijakan para pemimpin negara dipenjuru dunia dalam mengkonsumsi
sumberdaya alam secara berlebihan, dari konsumsi yang berlebihan tersebutlah
menjadi penyebab utama tren penurunan yang mengejutkan terhadap populasi satwa
liar di dunia. WWF dari studi nya menyarankan
agar adanya upaya konservasi radikal untuk mengatasi tren penurunan tersebut.
Perubahan iklim akan
menjadi sebuah hasil produk manusia yang hidup di zaman sejarah untuk mencapai
sebuah kepunahan massal. Jika kita melihat lebih jauh untuk melihat sebuah
kepunahan, semua peristiwa kepunahan masal dibumi ini hampir semua melibatkan
perubahan iklim. Peristiwa ini termasuk pendinginan selama kepunahan
Ordovisium-Silur sekitar 440 juta tahun lalu yang memusnahkan 85 persen spesies
dan pemanasan selama kepunahan Trias-Jurassic sekitar 200 juta tahun lalu yang
membunuh 80 persen spesies. Atau para Neandhertal yang punah pada 40.000 tahun
yang lalu, walaupun para ilmuan masih memperdebatkan bagaimana para Neandhertal
ini punah, namun fluktuasi iklim disebut telah memecah populasi mereka menjadi
kelompok-kelompok kecil dan terfragmentasi. Menurut Natural Museum Sejarah
London, perubahan suhu yang ekstrim mempengaruhi tanaman dan hewan yang menjadi sumber makanan mereka. Berkurangnya
sumber makanan para Neandhertal yang didorong oleh perubahan iklim juga menjadi
penyebab penurunan kecil dalam tingkat kesuburan yang akhirnya berkontribusi
pada kepunahan mereka. Pun ketika kita menarik lebih dekat lagi, runtuhnya
peradaban manusia saat Yunani Kuno sekitar 3,200 tahun yang lalu, terjadi karna
adanya kekeringan selama 300 tahun.
Sudah seharusnya kita
para manusia paham akan sebuah peristiwa yang terjadi saat ini, jika memang
sejarah saja tidak bisa membuat kita sadar akan hancurnya bumi yang kita pijak,
setidaknya curah hujan yang tinggi, banjir yang terjadi dikota kalian, dan
panas matahari siang yang menusuk lapisan kulit epidermis akan mengingatkan kita
akan perubahan iklim yang terjadi. Perubahan iklim memang tidak secara langsung
memusnahkan manusia, namun rentetan dari perubahan iklim yang di prediksi akan
memusnahkan kita. Kekeringan yang menyebabkan kelangkaan air karna perubahan
iklim akan secara perlahan membunuh manusia, Krisis pangan akibat perubahan
iklim akan mengacaukan manusia dimana-mana, kenaikan muka air laut yang setiap
tahunnya semakin cepat akan menenggelamkan sebuah wilayah, persis yang terjadi
saat Daratan Sundaland dahulu, yang saat ini memisahkan pulau seperti Jawa,
Kalimantan, dan Sumatra.
Walaupun ini semua seperti bom waktu yang kita
buat dan disuatu hari akan membunuh kita sendiri, setidaknya masih ada waktu
untuk berubah dan berbenah bagi para manusia. Sudah cukup banyak korban dari
para makhluk hidup yang hidup dimuka bumi ini , dan menjadi saksi bisu atas
terjadinya perubahan iklim. Hilangkan semua keserakahan yang kita miliki
sebagai manusia. Ingatkan mereka manusia yang masih serakah terhadap alam,
termasuk mereka para penguasa rakus yang terus menyebabkan kerusakan alam.
Sudah saatnya kita menolak untuk punah karna ulah diri kita sendiri. Walaupun
usaha yang kita lakukan hanya berdampak seperti buih dilautan, setidaknya usaha
tersebut adalah usaha untuk menjaga alam tetap lestari.
Manusia adalah satu-satunya mahkluk hidup dimuka bumi ini yang dikaruniai akal dan pikiran sebagai pembeda dari makhluk hidup lainnya. Dengan kelebihan tersebut, manusia dapat berkembang dan mempertahankan hidup dengan memanfaatkan makhluk lain disekitarnya. Himpitan perkembangan dan kebutuhan mendorong makhluk lain untuk tunduk kepada manusia. Dengan munculnya sebuah paham Antroposentrisme membuat manusia semakin lantang dalam menganggap makhluk hidup selain dirinya adalah objek yang semata-mata hanya penunjang bagi pertumbuhan dan perkembangan dirinya. Manusia yang mempunyai akal dan kecerdasan selalu menganggap dirinya sebagai pusat alam semesta, hanya terus berfikir bahwa semua selain dirinya adalah objek yang menguntungkan. Keserakahan Manusia sebagai makhluk yang paling mendominasi dibumi ini rupanya berdampak buruk pada kelangsungan hidup para makhluk hidup lainnya, bahkan manusia itu sendiri. Sadar atau tidak, semua hasil dari keserakahan manusia dalam melihat alam semesta dapat terlihat pada kondisi hari ini. Curah hujan yang meninggi, Cairnya lapisan es, Kekeringan yang hebat diberbagai wilayah, dan Kepunahan flora & fauna adalah sebuah produk dari makhluk yang paling mendominasi dimuka bumi.
Kesalahan paradigma pembangunan yang mengacu pada konsep antroposentris menyebabkan kehancuran besar bagi tempat hidup hewan, tumbuhan dan bahkan manusia itu sendiri. Antonio Guterres selaku Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam pidatonya di Conference of the Parties ke 26 (COP26) di Glasgow, Skotlandia, mendesak dunia untuk tidak memperlakukan alam seperti toilet yang digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Gutteres di awal pidatonya menjelaskan bahwa ini merupakan tahun keenam setelah Kesepakatan Iklim Paris/Perjanjian Paris (Merupakan kesepakatan global yang monumental untuk menghadapi perubahan iklim) yang berlangsung di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat, pada hari Jumat, 22 April 2016, yang bertujuan untuk membatasi kenaikan suhu global hingga dua derajat celcius, namun disepanjang enam tahun itulah dunia mengalami suhu yang paling panas.
“Planet kita berubah didepan mata kita, dari kedalaman laut ke puncak gunung, dari gletser yang mencair hingga cuaca ekstrim yang tiada henti, peristiwa kenaikan permukaan laut dua kali lipat dari 30 tahun yang lalu, lautan lebih panas dari sebelumnya dan menjadi hangat lebih cepat, bagian dari hutan amazon sekarang mengeluarkan lebih banyak karbon dari pada menyerapnya.” Gutteres juga menjelaskan rentetan perubahan iklim yang terjadi hingga saat ini, merupakan rentetan peristiwa yang secara perlahan akan menggali kuburan para manusia. Bahkan Gutteres mengkritisi pada pemimpin dunia yang hadir di COP26 bahwa aksi yang dilakukan mereka untuk mengatasi perubahan iklim hanyalah sebuah ilusi. Guterres juga menyerukan kepada para pemimpin untuk merangkul perubahan yang luas, walaupun seringkali sulit secara politis. Dia mengatakan dunia harus mengakhiri pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara dan menghentikan subsidi bahan bakar fosil. Dia telah memohon kepada negara-negara untuk memberikan lebih banyak uang stimulus untuk infrastruktur hijau. Dia bersikeras bahwa negara-negara kaya harus berbuat jauh lebih banyak untuk membantu negara-negara miskin yang rentan bersiap menghadapi bencana iklim yang memburuk. Diapun telah mendukung pajak global atas karbon atau Pajak Karbon(Pajak karbon atau carbon tax adalah pajak yang dikenakan atas pemakaian bahan bakar berbasis karbon, yaitu seperti produk olahan minyak bumi, gas bumi dan batu bara.).
Perubahan iklim sudah jelas menjadi malapetaka bagi manusia di berbagai belahan dunia. Beberapa bencana alam yang disinyalir adalah dampak dari perubahan iklim terus terjadi hingga saat ini. Para peneliti dibelahan dunia, seperti Maximiliano Herrera (Pakar klimatologi yang menyelidiki suhu dunia) mengeklaim bahwa dalam setengah tahun 2021 sudah ada lebih dari 260 catatan suhu tinggi di 26 negara. Jumlah yang lebih banyak dari prediksi. California telah mengalami lebih dari 4.900 kebakaran pada tahun 2021, 700 lebih banyak dari tahun 2020, Moskow mencatat hari terpanas bulan Juni dalam 120 tahun terakhir, terjadi juga kebakaran hutan di Siberia yang menjadi salah satu wilayah terdingin di dunia, dan berbagai bencana Hidrometeorologi yang terjadi di Indonesia, adalah bukti yang konkrit dari perubahan iklim yang menjadi malapetaka bagi manusia.
Tidak hanya manusia, perubahan iklim juga berpengaruh pada kehidupan para satwa. Rabu, 29 September 2021, Badan Perlindungan Ikan dan Margasatwa Amerika Serikat secara resmi menyatakan bahwa sebanyak 23 spesies dilindungi telah punah. 23 spesies tersebut adalah kalelawar buah, tanaman berbunga dalam keluarga mint, 8 kerang air tawar, 2 jenis ikan, dan 11 burung termasuk burung pelatuk yang punah dan beberapa saat lalu sempat viral di indonesia. Perubahan iklim dan hilangnya kawasan alami mendorong lebih cepat sebuah spesies untuk jatuh ke jurang kepunahan. Selain kepunahan tersebut, di salah satu tempat terdingin di dunia, Beruang kutub juga menjadi satwa yang terancam punah karna naiknya suhu bumi akibat perubahan iklim. Begitupun dengan hewan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis, mereka terancam akibat hilangnya habitat karna pembangunan.
Dua tahun lalu organisasi advokasi lingkungan WWF (Wildlife Fund for Nature) memperingatkan tren penurunan yang mengejutkan terhadap populasi satwa liar dunia, mereka melakukan studi akan hal tersebut. Direktur Jenderal WWF, Marco Lambertini mengatakan bahwa "Penurunan serius dalam populasi spesies satwa liar ini merupakan indikator bahwa alam sedang terurai dan bahwa planet kita menunjukkan tanda peringatan bahaya terhadap kegagalan sistem." Kegagalan sistem yang dimaksud oleh Marco adalah kebijakan para pemimpin negara dipenjuru dunia dalam mengkonsumsi sumberdaya alam secara berlebihan, dari konsumsi yang berlebihan tersebutlah menjadi penyebab utama tren penurunan yang mengejutkan terhadap populasi satwa liar di dunia. WWF dari studi nya menyarankan agar adanya upaya konservasi radikal untuk mengatasi tren penurunan tersebut.
Perubahan iklim akan menjadi sebuah hasil produk manusia yang hidup di zaman sejarah untuk mencapai sebuah kepunahan massal. Jika kita melihat lebih jauh untuk melihat sebuah kepunahan, semua peristiwa kepunahan masal dibumi ini hampir semua melibatkan perubahan iklim. Peristiwa ini termasuk pendinginan selama kepunahan Ordovisium-Silur sekitar 440 juta tahun lalu yang memusnahkan 85 persen spesies dan pemanasan selama kepunahan Trias-Jurassic sekitar 200 juta tahun lalu yang membunuh 80 persen spesies. Atau para Neandhertal yang punah pada 40.000 tahun yang lalu, walaupun para ilmuan masih memperdebatkan bagaimana para Neandhertal ini punah, namun fluktuasi iklim disebut telah memecah populasi mereka menjadi kelompok-kelompok kecil dan terfragmentasi. Menurut Natural Museum Sejarah London, perubahan suhu yang ekstrim mempengaruhi tanaman dan hewan yang menjadi sumber makanan mereka. Berkurangnya sumber makanan para Neandhertal yang didorong oleh perubahan iklim juga menjadi penyebab penurunan kecil dalam tingkat kesuburan yang akhirnya berkontribusi pada kepunahan mereka. Pun ketika kita menarik lebih dekat lagi, runtuhnya peradaban manusia saat Yunani Kuno sekitar 3,200 tahun yang lalu, terjadi karna adanya kekeringan selama 300 tahun.
Sudah seharusnya kita para manusia paham akan sebuah peristiwa yang terjadi saat ini, jika memang sejarah saja tidak bisa membuat kita sadar akan hancurnya bumi yang kita pijak, setidaknya curah hujan yang tinggi, banjir yang terjadi dikota kalian, dan panas matahari siang yang menusuk lapisan kulit epidermis akan mengingatkan kita akan perubahan iklim yang terjadi. Perubahan iklim memang tidak secara langsung memusnahkan manusia, namun rentetan dari perubahan iklim yang di prediksi akan memusnahkan kita. Kekeringan yang menyebabkan kelangkaan air karna perubahan iklim akan secara perlahan membunuh manusia, Krisis pangan akibat perubahan iklim akan mengacaukan manusia dimana-mana, kenaikan muka air laut yang setiap tahunnya semakin cepat akan menenggelamkan sebuah wilayah, persis yang terjadi saat Daratan Sundaland dahulu, yang saat ini memisahkan pulau seperti Jawa, Kalimantan, dan Sumatra.
Walaupun ini semua seperti bom waktu yang kita buat dan disuatu hari akan membunuh kita sendiri, setidaknya masih ada waktu untuk berubah dan berbenah bagi para manusia. Sudah cukup banyak korban dari para makhluk hidup yang hidup dimuka bumi ini , dan menjadi saksi bisu atas terjadinya perubahan iklim. Hilangkan semua keserakahan yang kita miliki sebagai manusia. Ingatkan mereka manusia yang masih serakah terhadap alam, termasuk mereka para penguasa rakus yang terus menyebabkan kerusakan alam. Sudah saatnya kita menolak untuk punah karna ulah diri kita sendiri. Walaupun usaha yang kita lakukan hanya berdampak seperti buih dilautan, setidaknya usaha tersebut adalah usaha untuk menjaga alam tetap lestari.
Muhammad Ilham Nur
K. 134 21 566
0 Response to "MANUSIA DAN SEBUAH KEPUNAHAN"
Posting Komentar