Dok. Korpala Unhas
Konsepsi atas alam semesta memang telah dimulai
sejak Era Filsafat Yunani Kuno, dimana para filsuf khususnya Thales,
Parmenides, Anaximandros, Anaximenes, dan lain-lain menandai awal mula lahirnya
filsafat, para filsuf tersebut juga dikenal sebagai filsuf alam. Mereka disebut
sebagai filsuf alam karena pergumulan utama filsafat mereka pada waktu itu
berkaitan dengan hakikat alam semesta dan kehidupan di alam semesta. Mereka
mulai sadar dan percaya akan kekuatan rasio (akal budi) untuk mencari jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan yang bersinggungan dengan asal-usul alam semesta.
Belakangan proyek konstruksi pikiran tersebut dikenal dengan nama
‘Kosmosentrisme Rasional’. Alam telah menjadi objek pengetahuan yang menjadi
cikal bakal filsafat. Kita menemukan bahwa sejak awal, alam telah menjadi objek
yang dilihat sebagai sesuatu yang menakjubkan, mengherankan, dan menjadi
pergumulan pemikiran manusia yang menandai kelahiran filsafat dengan
menggunakan rasio sebagai tumpuan tidak lain untuk menemukan jawaban atas
pertanyaan tentang hakikat alam semesta, atau tepatnya hakikat segala sesuatu di
alam semesta. Otomatis setelah alam dijadikan sebagai objek, konsekuensi logis
yang harus diterima adalah terjadinya posisi yang tidak seimbang antara alam
dan manusia (yang menyatakan diri sebagai subjek). Hal tersebut menjadi asal
mula terbentuknya oposisi biner antara manusia vs alam.
Oposisi biner antara manusia dan alam pada mulanya saling bertaut hanya dalam wilayah konsep. Namun menjadi mantap seiring dengan munculnya era Abad Pencerahan yang membawa semangat Antroposentrisme. Manusia dilihat sebagai entitas primer dan menganggap entitas-entitas lain di luar dirinya (misalnya alam) hanya sebagai entitas pelengkap yang bisa dikuasai seenaknya oleh si subjek. Semangat antroposentrisme secara bersamaan menyebabkan terjadinya peralihan cara pandang terhadap alam semesta. Paradigma pikiran yang mendominasi yakni paradigma mekanistis.
Harus diakui bahwa
paradigma mekanistis tentang alam sangat dipengaruhi oleh filsafat Rene
Descartes (1596-1650). Cogito ergo sum dari Descartes memiliki pengaruh
yang cukup besar dalam perkembangan filsafat di Barat baik dari segi pemahaman
subjektivitas manusia maupun pemahaman mengenai alam semesta. Saat ditelisik
secara langsung, Dercates seolah-olah melakukan reduksi atas kemampuan dan
keautentikan manusia yang hanya dilihat dari segi kemampuan rasionalnya,
sementara sisi yang lain, seperti tubuh, perasaan, dan intuisi atau hal-hal
yang secara alami dialami oleh tubuh dinegasi dan dianggap tidak penting.
Pemujaan akan kemampuan akal budi manusia juga memengaruhi cara pandang manusia terhadap alam. Sehingga manusia dan alam hanya dilihat sebagai lawan (vs). Alam tidak mempunyai kemampuan rasional dan karena itu alam dianggap tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri kecuali sebagai mesin raksasa yang bergerak untuk dikuasai oleh manusia. Ilmu pengetahuan pada abad pencerahan benar-benar didasarkan pada metode pencarian baru berdasarkan pada deskripsi matematis tentang alam. Hal ini justru ditegaskan oleh Francis Bacon dengan ungkapannya “Knowledge is Power (pengetahuan adalah kekuasaan.) Menurutnya, tujuan ilmu pengetahuan sebenarnya tidak terletak pada pembicaraan yang masuk akal…dan meyakinkan, atau pada segala macam argumentasi yang jelas, melainkan pada usaha, kerja keras, dan penemuan hal-hal yang belum diketahui untuk dijadikan alat dan bantuan yang lebih baik bagi manusia.
Bacon
meramalkan, ”Saat ini kita menguasai alam hanya dalam angan-angan atau dalam
ide kita; tetapi kita sendiri tunduk pada hukum-hukumnya. Namun, bila kelak kita
dibawa oleh alam pada berbagai macam penemuan, maka dalam prakteknya kitalah
yang akan berkuasa atas alam.” Sekilas ungkapan tersebut menunjukkan adanya
kepercayaan diri yang berlebihan bagi umat manusia untuk meletakkan alam
semata-mata sebagai objek untuk dikuasai. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi
manusia menguasai alam semesta, mengubah, dan menjadikannya objek pemuas
kebutuhan hidup manusia. Dengan metode baru alam ditempatkan di bawah kendali
manusia untuk ditaklukan dan disingkapkan seluruh rahasianya di bawah dominasi
manusia dengan metode empiris-induktifnya di bawah pengujian akal budi. Alam
tunduk pada kepentingan manusia dan diperlakukan seperti budak. Dalam metode
baru ini, pemahaman lama tentang alam sebagai ibu pertiwi yang memberi
kehidupan hilang sama sekali dan secara radikal digantikan oleh cara pandang
mekanistis tentang alam sebagai sebuah mesin. Hal ini tentu punya pengaruh
cukup besar terhadap kehancuran alam setelahnya.
Inilah cara pandang yang menjadi
akar dari krisis modern dewasa ini, termasuk menjadi akar dari krisis dan
bencana lingkungan hidup global sekarang. Sebuah cara pandang yang melahirkan
sikap tidak peduli, eksploitatif dan merusak terhadap alam, karena alam
dianggap sebagai sebuah mesin raksasa yang berfungsi secara mekanistis tanpa
mempunyai nilai pada dirinya sendiri untuk dilestarikan. Alam dalam pandangan
modernitas telah direduksi hanya sebagai materi belaka. Hubungan alam dan
manusia dalam khasanah pengertian pencerahan merupakan hubungan antar-materi.
Manusia menjadi ‘Manusia Konsumen’ sedangkan alam menjadi ‘materi bahan
konsumsi’. Namun keberanian ungkapan Bacon yang sangat antroposentris sebetulnya didasari oleh pengalaman empirik pada waktu itu, sebab semasa hidup Bacon, ia belum merasakan langsung kehancuran
alam seperti saat ini. Melihat udara yang semakin pengap, perubahan iklim yang
nyata, pencemaran air sungai, polusi udara bahkan penggerusan batu dan kerusakan
hutan yang tidak pernah menemukan titik aman. Hal tersebut bisa menjadi
represantasi betapa mengerikannya dunia masa depan yang akan datang. Ada
kemungkinan yang membuat perang saudara terjadi bukan lagi karena ras, agama,
negara, dll. Melainkan karena manusia saling berebut udara untuk dihirup. Kita
akan berperang hanya karena udara segar.
Dengan begitu, semakin jelas pulalah bahwa konsep
pengetahuan yang valid di era Abad Pencerahan adalah pengetahuan rasional,
yakni pengetahuan yang disusun dan dibangun dengan menjadikan akal budi sebagai
tumpuan. Penyembahan akan kemampuan akal budi sebagai satu-satunya sumber
pengetahuan telah kita lihat bersama turut mempengaruhi cara pandang manusia
terhadap alam semesta. Alam semata-mata dilihat sebagai objek yang tidak
memiliki sisi rasional sebagaimana tubuh. Oleh karena itu, alam dilihat tidak
memiliki nilai di dalam dirinya sebab tidak mampu memberikan landasan yang
rasional bagi manusia. Hingga berujung pada konsep alam semesta sebagai mesin
raksasa dengan semangat antroposentrisme yang berpengaruh besar bagi kerusakan
alam. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi jelas berimbas pada
ketidakramahan lingkungan dan semakin memperbesar nafsu konsumntif para
manusia. Sebab sikap dan perilaku manusia terhadap alam semesta dan kehidupan
di dalamnya sesungguhnya dipengaruhi oleh paradigma berpikir kita tentang
hakikat alam semesta.
Kondisi Lingkungan Hari Ini?
Manusia
dengan akal dan kecerdasannya selalu menganggap dirinya sebagai pusat alam
semesta, seolah-olah selain dirinya hanyalah objek yang bisa membawa
keuntungan. Sikap dominan yang muncul kemudian adalah keserakahan manusia
sebagai makhluk yang paling mendominasi. Secara bersamaan keserakahan tersebut
rupanya berdampak buruk pada kelangsungan hidup seluruh makhluk, khususnya
manusia itu sendiri. Sadar atau tidak, kondisi buruk bumi hari ini merupakan
representasi sikap manusia yang masih memberi makan bahkan membuat gemuk
keserakahannya. Perubahan iklim, cuaca yang sulit dibaca dan ditentukan, curah
hujan yang tinggi, cairnya lapisan es, kekeringan yang hebat di berbagai
wilayah, kebakaran hutan, dan kepunahan flora & fauna adalah indikasi nyata
produksi keserakahan manusia yang tidak terbatas tersebut.
Bersamaan dengan itu pula sejak akhir abad ke-18 seperti yang tercatat dalam sejarah bahwa salah seorang insinyur mekanik Skotlandia bernama James Watt berhasil memberikan kemajuan pada mesin uap yang memberi pengaruh besar sejak revolusi industri baik di Inggris maupun di seluruh dunia. Penemuan mesin uap dengan bahan penggerak utamanya yang memakai batu bara turut memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi fosil sebagai fondasi dalam skala besar — namun tentu saja salah satu harga yang harus kita tanggung bersama ialah krisis ekologi atau bahkan kiamat ekologi.
Sebagaimana yang ditulis dalam IndoProgress dalam sebuah artikel yang berjudul Kapitalisme, Kelas Kapitalis, dan Krisis Ekologi. “Indonesia adalah salah satu negara produsen batu bara terbesar di dunia, dengan produksi mencapai 606,7 juta ton pada 2021. Akibat dari penambangan batu bara ini, misalnya, terjadi pelepasan karbon dioksida, nitrogen oksida, sulfur dioksida, dan gas metana yang menyebabkan terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim secara ekstrim, peningkatan suhu bumi, mencairnya es di kutub, terjadinya hujan asam, dst. Selain itu, akibat dari penambangan batu bara ini kualitas kesuburan tanah menurun drastis, air tercemar limbah merkuri dan zat logam, muncul bekas lubang galian, banjir dan tanah longsor. Dari aspek kesehatan, pembakaran batu bara ini menyebabkan kanker paru-paru, penyakit ginjal kronis, jantung, pneumokoniosis, dan silikosis bagi buruh dan warga sekitar area penambangan. Deretan dampak negatif dari penambangan batubara dan industri berbasis bahan bakar batubaru ini bisa lebih panjang lagi."
Bencana ekologis merupakan fenomena alam yang terjadi akibat adanya perubahan tatanan ekologi yang mengalami gangguan akibat aktivitas teknologi dan manusia. Meski kita semua paham bahwa sumber penyebab utama dari kehancuran bumi diakibatkan oleh aktivitas-aktivitas manusia sebab telah terjebak dalam kerangkeng paradigma yang melihat alam semata-mata sebagai objek tanpa nilai di dalam dirinya, namun kita tidak boleh menyamaratakan konstribusi setiap orang yang ada di bumi atas ragam kerusakan saat ini. Tentu, disatu pihak ada yang telah berkonstribusi besar dan wajib mempertanggung jawabkan perilakunya yang serakah tersebut. Suatu kajian yang dilakukan oleh World Ecology menemukan bahwa 100 korporasi di dunia bertanggung jawab atas 70% emisi gas rumah kaca global sejak 1988. Aktivitas-aktivitas dari para kosporasi ini bergantung pada penghisapan dan eksploitasi secara besar-besaran atas hunian tempat tinggal manusia. Di Indonesia, fenomena bencana dari tahun ke tahun tidak pernah menunjukkan penurunan. Menurut laporan IPBES dalam Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) di tahun 2018, Indonesia mengalami kehilangan hutan seluas 680.000 hektar setiap tahunnya, tertinggi di region Asia Tenggara. Data Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2016 menyatakan bahwa dari 105 sungai yang dipantau di Indonesia. 101 sungai berada pada kondisi tidak terawatt hingga tercemar. Sementara, di Sulawesi Selatan setidaknya tercatat dua kerusakan lingkungan yang berdampak paling parah sepanjang 2018. Pertama, eksploitasi perbukitan karst di antara Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Maros. Kedua, abrasi di pantai Galesong, Kabupaten Takalar. Menurut Walhi Sulsel rusaknya sistem ekologi mulai dari hutan hingga pencemaran air disebabkan faktor pertambangan yang begitu masif.
Perangkap globalisasi telah lama mempengaruhi Indonesia, sejak saat itu pulalah masalah kerusakan lingkungan dan eksploitasi sumberdaya alam di Indonesia secara besar-besaran semakin masif dilakukan sebagai akibat logis yang saling bertaut dengan ambisi ekonomi global untuk meraup keuntungan sebesar mungkin. Kuasa ekonomi global sedemikian besar mempengaruhi aktivitas manusia dalam mengelola sumberdaya alam hingga pertimbangan-pertimbangan mengenai keberlangsungan hidup dan keseimbangan ekosistem menjadi kelas dua. Belum lagi kadang-kadang suatu sistem ekonomi tertentu tampil dengan tampang humanis untuk menutupi kekejaman yang akan atau telah mereka lakukan terhadap alam.
Bencana ekologis adalah hasil dari ekspresi
ketamakan dan tindak-tindak eksploitatif terhadap alam. Hal tersebut semakin
mantap saat pola perilaku manusia semakin konsumtif dan berlebihan. Misalnya
pada kasus yang paling sederhana seperti pencemaran lingkungan akibat limbah,
sampah plastik, polusi udara dll. Hingga kasus yang paling besar seperti
pemanasan global dan perubahan iklim. Berdasarkan hasil laporan Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC) jika dalam jangka waktu 3 tahun atau pada
tahun 2025 tidak ada yang dapat kita lakukan untuk mengantisipasi emisi gas
rumah kaca yang berlebihan maka dapat dipastikan akan terjadi peningkatan suhu
pemanasan global dengan rata-rata 3,2 ℃ pada tahun 2100 yang akhirnya dapat
merusak rantai makanan dan ekosistem kita. Di Jakarta sendiri, kenaikan suhu
yang awalnya diperkirakan akan terjadi pada tahun 2030 jauh lebih cepat
meningkat hingga menyentuh angka suhu sekitar 1,5 ℃. Artinya kemungkinan
konsekuensi yang harus kita tanggung bersama yakni kenaikan suhu hingga 3,2 ℃
dapat lebih cepat dirasakan dampaknya, seperti: cuaca ekstrem yang sulit
ditebak, habitat hewan yang semakin sempit dan dapat menyebabkan kepunahan,
hingga bencana kebakaran hutan yang semakin marak terjadi, dll. Buktinya
fenomena-fenomena tersebut semakin nyata di permukaan dan sering kita dapati. Kehancuran alam bisa saja
menjadi penemuan besar dari hasil produk manusia untuk mencapai kepunahan
massal yang lebih cepat sebab dengan bangganya kita mengeksekusi alam tanpa
jeda. Lantas apakah kehancuran alam kelak akan menjadi hadiah dan kado terindah
bagi para penghuni bumi selanjutnya?
Sudah
Saatnya Para Pencinta Alam Bicara!
Pencinta Alam merupakan suatu applied
ethichs (etika yang teraplikasi). Terdapat dua klassifiksi etika yang bisa
diteliti yakni ‘etika manusia/etika khusus pada ‘Pencinta’ (human ethic)
dan etika pada alam (natural ethic). Bila Pecinta Alam memahami alam-Nya
dimulai dari filsafat justru kita akan berbenturan dengan dua sudut pandang;
Pertama, alam yang dipahami dari filsafat akan menjadi seni yang kaya
dengan kencintaan tanpa syarat. “Tiap-tiap ilmu (logi) dimulai dengan filsafat
dan berakhir dengan seni.” ujar Will Durant. Kedua, berdasarkan
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan kita bisa melihat bahwa ada dosa
yang dihadirkan dalam filsafat Abad Pencerahan terhadap alam justru dengan
landasan filosofis yang cukup kuat. Mereka menggeser posisi alam sebagai sebuah
seni yang radikal sebab dilihat semata-mata sebagai karya (mesin, benda mati)
yang dibisa dikuasai dan dimanfaatkan kapanpun demi kepentingan umat manusia.
Alam dilihat sebagai realitas yang bisa diperkirakan, diukur secara sistematis,
dan dikuasai. Alam adalah objek yang tidak berjiwa dan bersifat material: alam
ada untuk memenuhi kebutuhan manusia. Oleh karenanya sebagai seniman radikal,
ia punya kehendak bebas untuk membentuk alam sesuai keinginannya atau bahkan
merusaknya. Ini berarti kemajuan pengetahuan kita tentang alam adalah kemajuan
penaklukan atas alam ini demi “kesejahteraan bagi seluruh umat manusia”. Lalu
pertanyaannya, di posisi manakah seorang Pecinta Alam harus berdiri? Apakah
sebagai seniman yang memiliki kecintaan tanpa syarat terhadap alamnya
(mungkinkah)? Atau justru sebagai seorang seniman radikal yang bisa dengam
bebas merusak alamnya?.
Dengan menjadikan kepencinta-alaman sebagai suatu aktualisasi seni yang punya kecintaan tanpa syarat, maka seorang 'Pencinta Alam' tak akan mungkin tega membiarkan alam, bumi, lingkungan atau apapun namanya menjadi hancur. Kita para manusia khususnya para ‘Pencinta Alam’ sudah seharusnya membaca tanda-tanda kehancuran tersebut, lalu mendekatinya secara berbeda hingga berusaha menerjemahkannya melalui bahasa dan aksi yang nyata.
Pemanasan global dan perubahan iklim memang tidak secara langsung memusnahkan manusia, namun rentetan dari perubahan iklim yang di prediksi akan memusnahkan kita jauh lebih cepat. Kekeringan yang menyebabkan kelangkaan air karena perubahan iklim akan secara perlahan membunuh manusia, krisis pangan juga akan membuat manusia ketar-ketir sebab kesulitan mencari makan, serta dampak negatif lainnya yang bisa membuat alam dan isinya musnah dengan instan. Jika memang kondisi demikian masih belum membuat sadar para ‘Pencinta Alam’ sudah sepatutnya kita tidak perlu berbangga diri dengan segala bentuk aktivitas lapangan di alam bebas yang kita tekuni. Kita justru perlu melakukan aksi nyata atas kerusakan tersebut. Oleh karena itu pilihan dalam memperlambat kehancuran alam harus lebih sering didiskusikan dan diaktualisasikan.
Skill minded yang telah meracuni segala pikiran para ‘Pencinta Alam’ hingga membuat mereka lupa diri dan memusatkan perhatiannya hanya pada peningkatan skill lapangan haruslah dicari obat penawarnya. Kita tentu tidak ingin jika aktivitas lapangan menjadi paling dominan dan memenangkan seluruh jenis perbincangan di kursi-kursi sekretariat para ‘Pencinta Alam’. Bahwa memang para ‘Pencinta Alam’ tidak akan pernah membiarkan gunung, hutan rimba, tebing, gua, sungai dan laut luput dari jejak kaki penjelajahannya sebagai langkah untuk mengenal alam dan mengamati masyarakat desa lebih dekat. Sebab para ‘Pencinta Alam’ percaya bahwa ilmu adalah hadiah dari rasa ingin tahu. Hingga keingintahuan itu membuat para ‘Pecinta Alam' untuk tidak hanya berdiam diri di dalam kamar lalu menjadikan kakinya sebagai akar yang tidak bisa melangkah. Keingintahuan itu telah memompa keyakinan para ‘Pecinta Alam’ bahwa ilmu itu banyak beredar di dalam hutan yang lebat, gunung yang curam, tebing yang kokoh, lautan yang luas, dan juga pada diri sendiri yang berhasil melawan ketakutan. Namun sayangnya, semakin jauh para ‘Pencinta Alam’ melakukan penjelajahan secara bersamaan juga membuat mereka menjauhkan dirinya dari isu-isu krisis lingkungan yang padahal merupakan media belajarnya, masalah deforestasi hutan, pencemaran sungai, pertambangan yang berpengaruh besar terhadap rusaknya batuan karts yang menjadi komponen penyusun gua-gua dan tebing, hingga kerusakan lain yang berpengaruh pada hancurnya keanekaragaman hayati, termasuk manusia khsususnya para ‘Pencinta Alam’.
Sudah saatnya para
‘Pencinta Alam’ merubah tembakan sudut derajatnya jika hendak mengekspresikan
cinta yang positif lalu mengajak seluruh pihak yang merasa telah memiliki
identitas ‘Pencinta Alam’ untuk melakukan pertemuan besar-besaran yang tidak
semata-mata hanya untuk meningkatkan skill lapangan melainkan membangun wacana
alternatif dan kritis untuk mencegah laju krisis lingkungan yang semakin deras
hingga membentuk sebuah manifesto ‘Pencinta Alam’. Atau mungkin cukup dengan
membangun sebuah kesadaran yang sederhana namun memberi dukungan positif
terhadap alam dalam kegiatan kita sehari-hari. Misalnya tidak membuang sampah
di sembarang tempat, meminimalisir
penggunaan sampah plastik, mematikan listrik yang tidak digunakan, dll.
Sebagai ‘Pencinta Alam' kita percaya bahwa alam adalah media belajar paling baik. Oleh karena itu, para ‘Pencinta Alam’ perlu dengan segala tanggung jawabnya memosisikan diri dengan tegas atas keberpihakannya terhadap alam: ketika sekolah (alam) kita hancur kemana lagi para ‘Pencinta Alam’ akan membentuk kepribadian dan inteligensi mereka. Alam adalah subjek, sebagaimana yang sering dibahasakan oleh para penyair di Buletin Lembanna bahwa alam juga memiliki ekspresi. Seperti pula dalam pandangan deep ecology yang menempatkan manusia sebagai bagian integral dari alam, tanpa satu sama lainnya berada dalam kontradiksi oposisi biner. Manusia hanyalah bagian dari suatu ’jaring-jaring kehidupan' di alam ini. Hal tersebut akan membuat manusia, bukan lagi secara sebagai penakluk alam. Manusia adalah 'alam' itu sendiri yang tak bisa terpisahkan.
'Pencinta Alam' dengan tanggung jawab moralnya harus tampil bukan sebagai panji sang penakluk namun sebagai ‘Pencinta’ yang dalam pengembaraannya berusaha mendekati ekspresi alam yang apa adanya. “Ekspresi alam, tak hanya ketika sebuah pohon membunuh dahannya, tak juga ketika sungai sudah mulai tidak percaya pada bebatuan, atau ketika rusa memaafkan harimau. Ekspresi alam merupakan ucapan alam dalam berbagai tanda dan bentuk. Orang-orang mesti menggunakan dan mengasah kepekaan dalam menangkap seluruh tanda dan bentuk tadi. Sebab alam juga sebagai subjek, maka manusia, khususnya para ‘Pencinta Alam’ harus belajar menerjemahkan ekspresi alam”. Sentuhan yang diberikan oleh alam sebaiknya berarti membebaskan manusia khususnya para ‘Pencinta Alam’ dari jerat-jerat pikiran mekanis. 'Pencinta Alam' yang harus menutup riwayat dari ’oposisi biner' yang menempatkan alam sebagai versus manusia. Logika modern tentang oposisi biner tersebut, harus ditamatkan riwayatnya oleh kesadaran psikologis 'Pencinta Alam' dalam segala prilaku dan kedekatannya dengan alam bebas.
‘Pencinta Alam’ tidak harus bekerja seperti mesin. Pergulatan pikiran adalah sebuah kemewahan yang harus dimiliki ‘Pencinta Alam’ sebagai bentuk representasi karena seringnya bersentuhan langsung dengan kondisi-kondisi yang nyata terjadi di alam. Tidak bisa dinafikan, bahwa memang demikian seorang ‘Pencinta Alam’ memiliki kedekatan khusus dengan alam tempatnya sering bermain dan menempa diri. Atas alasan itu pulalah akan menjadi mengerikan jika kedekatan dengan alam tidak diterjemahkan lewat ekspresi-ekspresi pikiran ‘Pencinta Alam’ yang khas.
'Pencinta Alam' tidak perlu berbangga diri karena gandengan ransel besar dan tinggi menjulang itu. Keautentikan para 'Pencinta Alam' perlu diselidiki jika memang keranjingan mereka ke alam bebas hanya membuat ototnya membesar tanpa keikutsertaan pertumbuhan hati, otak, serta kesadaran yang lebih tajam. Gunung yang sering mereka kunjungi dalam rangka menyelami kontemplasi yang sunyi dan senyap tidak seharusnya membuat para 'Pencinta Alam' menjadi jauh bahkan asing dengan kenyataan hidup. Sebab gunung menjadi salah satu rumah bagi para 'Pencinta Alam' dalam membentuk struktur bangunan pikiran yang kuat dan kokoh oleh karena itu para ‘Pencinta Alam’ sudah tidak perlu berlama-lama di gunung. Sudah sepatutnya pikiran yang dimatangkan ikut dibawa turun gunung untuk menjadi penawar persoalan yang nyata terjadi. Karena heningnya gunung tidak mengajarkan kita untuk sekadar menggigil dari fenomena keseharian. Begitupun gunung tidak semata-mata menjadi tempat untuk mengasingkan diri, lebih dari itu gunung adalah jalan sunyi para ‘Pencinta Alam’ dalam melampaui batas-batas kontemplasi. Begitupun dengan kegelapan gua bukan untuk menghilangkan pikiran yang terang benderang. Melainkan gua adalah lubang yang di desain sedemikian rupa secara alamiah agar para ‘Pencinta Alam' mampu memaknai secara terus menerus tentang sebuah keharusan mendalami hati serta pikirannya (dengan kata lain kegelapan gua sebaiknya menjadi semantik kognitif bagi mereka yang menyadarinya secara lebih luas, sebab hati dan pikiran adalah tentang kedalaman). Seperti pula pada tingginya tebing bukan untuk mendidik para ‘Pencinta Alam’ agar paling ‘merasa’ tinggi hingga tidak ingin menundukkan diri melihat persoalan. Adrenalin saat memanjat tebing curam perlu dikelola dengan baik agar dapat menjadi kekuatan yang tanpa sedikitpun rasa gentar di dalamnya. Serta ombak di lautan tidak untuk membuat para 'Pencinta Alam' berkeras hati. Samudera yang luas diharapkan dapat ditiru oleh hati para 'Pencinta Alam' agar menjadi lebih terbuka, bergemuruh, dan siap menyerang setiap sistem yang bengkok dan tidak memihak kepada rakyat kecil. Terakhir, filosofi Pendidikan Dasar juga bukan untuk membentuk ‘Pencinta Alam’ arogan yang miskin akan pergulatan pikiran.
Tempaan demi tempaan, seleksi demi seleksi yang telah alam ekspresikan kepada para ‘Pencinta Alam’ seharusnya bisa menjadikan mereka sebagai individu yang mewah dan sulit untuk ditawar. Sebab bukan pengembaraan yang akan membunuh para ‘Pencinta Alam’ melainkan gunung, hutan, tebing, gua, laut, serta alam yang telah menjadi rumahnya dipaksa hilang akibat ulah segelintir orang yang dengan beringas mengeksploitasi alam tanpa henti. Oleh karena itu, sebelum semua kemungkinan itu terjadi atau bahkan telah terjadi para ‘Pencinta Alam’ harus mempertanggung jawabkan kata ‘Cinta’ yang melekat dengan bangga pada slayer yang sering menggantung gagah di masing-masing leher mereka. ‘Pencinta’ tak boleh terpisah dari ‘Alam’ atau tak boleh dimaknai sebagai dua kata yang berbeda. Pemisahan makna itu, tentunya memiliki potensi kemungkinan untuk menjadikan ‘Pencinta’ bertransformasi menjadi perusak, penista, dan bedebah bagi ‘Alam’. ‘Pencinta’ atau ‘Pecinta’ merupakan satu substansi dengan ‘Alam”. Maka sudah seharusnya para ‘Pencinta’ membela ‘Alam’ sebagai bagian dari yang inheren dalam dirinya. Para 'Pencinta Alam' harus angkat bicara!
Sumber
0 Response to "SEBELUM ALAM DAN ISINYA HANCUR, PARA PENCINTA ALAM HARUS BICARA!"
Posting Komentar