Pada
abad ke-18 suatu bangunan besar yang disebut peradaban muncul dengan segala
arsitek pikiran (baca: pencerahan) menguasai segala tatanan manusia yang
berlandaskan pada spirit penuhanan atas nalar rasional beserta slogan besarnya:
bahwa "manusia merupakan pusat segala kehidupan". Pembangunan peradaban ini
dirayakan secara saksama sebagai bentuk ekspresif kemenangan rasio yang
berhasil mematahkan jeruji-jeruji mitologi dan otoritas tiran hingga agama.
Konsekuensi logisnya perubahan paling radikal mengemuka di seluruh elemen,
mulai dari pandangan hidup, polarisasi, hingga struktur sosial ikut tercemar
dengan semangat antroposentrisme yang sangat dominan. Bendera kemenangan seolah
dikibarkan untuk mengumumkan kepada dunia bahwa manusia telah berhasil
menaklukkan alam. Manusia dengan segala keunggulannya dalam bidang ilmu
pengetahuan memperlihatkan dirinya telah melampaui era mistis dan mencapai logos.
Saat
ditelisik dari garis perkembangan manusia atas penguasaannya terhadap alam,
sejarah akan berkata demikian, pada Abad Pertengahan manusia menguasai alam
menggunakan alat bernama agama. Jadi potensi-potensi manusia yang teraktualkan
untuk menjadi subjek superior dibandingkan dengan entitas lain (seperti alam)
dianggap tidak melenceng sebab memiliki bantuan validasi dari kitab-kitab suci.
Melawan hal demikian sama saja melawan perintah Tuhan yang ujungnya adalah
dosa. Lantas, siapa yang punya keberanian tinggi dalam melawan
ketidakseimbangan tersebut? Terlebih dengan dalih otoritas agama. Sedangkan
pada Abad Pencerahan, rasiolah yang menjadi alat untuk memvalidasi penguasaan
manusia atas alam. Cogito Ergo Sum adalah postulat Cartesian paling
terkenal yang menandakan ada keistimewaan yang dimiliki manusia dan tidak
dimiliki oleh entitas lain. Kemampuan rasional menjadi segalanya, sehingga
pengukuran terhadap objek tertentu didasarkan pada parameter rasio untuk dapat
dikatakan bernilai. Atas dasar alasan itu seluruh fondasi antroposentrik
dibentuk.
Adanya
transisi dalam memandang alam berdampak pada berubahnya pola hidup manusia.
Terlebih saat ditemukannya mesin uap oleh James Watt, kemudian industri besi
hingga alat tekstil. Kehadiran mesin produksi tentu berbanding lurus dengan
adanya efisiensi tertentu yang memicu terjadinya kepesatan dalam berbagai
bidang. Mesin-mesin tersebut pada akhirnya menjadi simbolisasi keunggulan
manusia di atas alam. Oleh karena itu, penggunaan sumber daya alam tanpa
memperhitungan gejala-gejala ekologis yang akan muncul di kemudian hari menjadi
sangat dominan. Bencana ekologis juga dikesampingkan. Atas dasar itu pulalah
tidak keliru untuk mengatakan gagasan antroposentrik adalah akar penyebab
terjadinya eksploitasi alam secara besar-besaran sebagaimana manusia
mengandaikan alam sebagai sumber pemuas segala kebutuhan manusia.
Kerusakan
alam digambarkan dengan jelas oleh Aldo Leopold melalui penuturan pengalamannya
saat berada di tengah keindahan alam liar Wisconsin sekaligus menggugat
kematian alam liar yang dahulu pernah ada dengan ekspresi kesedihan: “hutan
belantara merupakan komponen yang mulanya alami, tetapi dirusak manusia dengan
artefak/temuan yang disebut peradaban.” Manusia mendikte alam layaknya properti
sebab merasa pantas dan layak melakukan eksploitasi terhadap alam berdasarkan
asumsi kemampuan akalnya.
Bagaimana
seharusnya para ‘MAPALA’ menilai alam?
Berdasarkan
semangat pencerahan dengan fondasi gagasan antroposentrisme yang kuat berhasil
mewariskan tradisi pengetahuan yang mendikotomi subjek (manusia) dan objek
(alam). Sebagaimana dalam bangunan epistemologi Cartesian yang memisahkan dua
bentuk realitas, yaitu res cogitan, pikiran, rasio, atau gagasan dan res
extansa, materi atau sering diandaikan sebagai tubuh. Dualisme realitas ini
tentu membawa pengaruh besar sebagai acuan interaksi antara manusia dan alam.
Hal inilah yang membawa pemisahan cukup ketat antara subjek dan objek. Alam
dianggap tidak bernilai dengan alasan tidak memiliki kualitas rasional,
sedangkan manusia dengan segala bangunan kesadaran yang rasional menganggap
wajar untuk mengeksploitasi alam dengan dalih: hanya entitas manusia yang
memiliki nilai intrinsik “aku berpikir, maka aku ada.” Seolah-oleh keduanya tidak saling mempengaruhi
atau memiliki konektivitas satu sama lain.
Padahal jika ditelisik lebih jauh
kesadaran rasionalitas yang dimiliki oleh subjek (manusia) tumbuh dengan proses
yang rumit dan subtil saat berelasi dengan objek (alam). Tanpa objek kesadaran
tentu tidak akan berbuah manis. Kesadaran selalu sebagai kesadaran mengenai
objek, bukan kesadaran tanpa bangunan material sebagai basisnya. Sebagaimana
dalam pemaparan Edmund Husserl mengenai epoche, dijelaskan bahwa
kesadaran adalah kesadaran tentang sesuatu. Husserl ingin menyampaikan bahwa
kesadaran bukan sesuatu yang otonom dan sendiri seperti dalam ide Cartesian.
Berdasarkan kerangka Husserl kesadaran terdiri atas dua sumbu. Pertama adalah
Noesis, yakni sumbu aku atau subjek yang menghasilkan putusan, nilai,
rasa suka-tidak suka. Kedua ialah Noema, bagaimana subjek menyaksikan objek apa
adanya.
Sebagaimana bangunan episteme
Husserl bahwa persinggungan subjek dan objek akan menghasilkan kesadaran yang
terarah (mental intentive). Subjek akan menyaksikan sekaligus mengalami
objek, konektivitas tersebut yang akan menumbuhkan nilai, pendapat, perasaan,
makna tentang persinggungan tersebut. Oleh karena itu akan sangat mustahil
memupuk rasa hormat terhadap alam beserta isinya jika tidak dilandasi dengan
renungan-renungan ontologis yang menempatkan alam dan manusia dalam posisi yang
saling terkoneksi. Persinggungan-persinggungan tersebut akan membuat manusia
sedikit demi sedikit mengenal alam sembari merumuskan nilai-nilai yang lebih
adil dari relasi subjek-objek. Pertama-tama memang harus memiliki rasa
kepemilikan dalam artian intensionalitas terlebih dahulu, sembari mengokohkan
rasa kepedulian.
Relasi
subjek-objek tidak dapat dipisahkan. Alam dan manusia adalah dua entitas yang
memiliki konektivitas intensional. Manusia membangun kesadaran rasionalnya
melalui persinggungan dengan alam. Alam hadir sebagai entitas terbuka untuk
diketahui. Dapat dikerucutkan bahwa pertumbuhan kesadaran dan nilai-nilai dalam
diri manusia selalu mengandaikan alam sebagai bagian dari dirinya yang memiliki
intensionalitas berupa konektivitas antara alam dan manusia. Untuk berada
bersama alam, dikelilingi kehidupan adalah bagian dari proses kesadaran subjek.
Alam adalah kulturnya. Dalam konteks aktivitas outdoor para ‘Mapala’
saat berada di tengah-tengah alam liar menangkap secara perseptual sebuah
objek. Dalam kegiatan perseptual itu, ‘Mapala’ melihat tebing, gua, hutan
rimbun, gunung, serta lautan secara apa adanya sebagai domain noema.
Proses
melakukan analisa mendalam terhadap kualitas alam bebas tersebut dilakukan
dengan metode penjelahan sebagai cara yang unik untuk mendekati alam secara
intens seperti naik gunung, memanjat tebing, menyusuri gua, atau mengarungi
lautan. Penjelajahan membuat para ‘Mapala’ merasakan langsung keliaran alamiah
di alam bebas. Oleh sebab itu, karena memiliki kedekatan khusus dengan segala
aktivitasnya di alam bebas seharusnya membuat para ‘Mapala’ memiliki
sentimentalitas lebih tajam terhadap alam. Misalnya ungkapan-ungkapan emosional
seperti, rasa suka, bahagia, senang, saat melihat hutan-hutan rimbun yang masih
awet dan terjaga. Inilah yang menandakan kemampuan subjek secara noetik dalam
menentukan nilai yang muncul dalam interaksi subjek (manusia) dan objek (alam)
Namun ungkapan emosional semata tidak cukup, para ‘Mapala’ harus punya aksi
langsung dalam menjaga kelestarian alam jika mereka benar-benar secara sadar
menganggap alam adalah rumahnya. Oleh karena itu jika masih ingin merasa
bahagia saat melihat hutan-hutan yang masih rimbun (baca: alam) para ‘Mapala’
secara bersamaan mesti menjaganya dan menjadi kelompok paling terdepan yang
akan dengan hormat melawan jika ada yang berani merusaknya. Tidakkah para
‘Mapala’ terusik jika pembabatan hutan terjadi dimana-mana, juga pertambangan
illegal yang menghancurkan gugusan karst sebagai penopang tebing dan gua, atau
kehancuran terumbu karang di lautan, belum cukupkah kerusakan tersebut untuk
menyentuh hati nurani para ‘Mapala’ yang mengaku sebaga pecinta alam? Atau
jangan-jangan para ‘Mapala’ sebenarnya berkunjung ke alam membawa semangat
antroposentrime abad pencerahan, datang sebagai penakluk?
Seringkali
dibalik lorong-lorong gua yang gelap, tebing yang terjal, gunung yang megah,
hingga lautan samudera yang luas menjadi puncak perenungan para ‘Mapala’ betapa
alam memiliki kadar ambiguitas yang mengherankan sekaligus tampak asing bagi
dirinya. Akan tetapi ambiguitas tersebut merupakan motorik bagi keheranan dan
rasa ingin tahu. Oleh karena itu seorang petualang saat menyaksikan kegagahan
gunung yang dihiasi hutan lebat secara spasial membuat ia merasakan kemewahan
alam. Keberadaan sebuah gunung menjadi nyala api kecil untuk menerangi
keingintahuan, menimbulkan perasaan bahagia, bahkan rendah hati.
Jadi
akan sangat mengherankan jika para ‘Mapala’ yang seringkali berinteraksi dengan
sebuah gunung (baca: alam) sama sekali tidak menumbuhkan keintiman dan
kedekatannya sebagai pemicu simpati yang akan membawa kepekaan saat alamnya
rusak meskipun dalam skala kecil. Kepekaan itulah yang akan menjadi modal utama
dalam menumbuhkan kepedulian terhadap alam sebagai hadiah dari keingintahuan
untuk merasakan kemewahannya. Jadi aktivitas ke alam bebas mesti berbanding
lurus dengan kepedulian terhadap masalah kerusakan alam yang terjadi di
sekitarnya. Sebab alam adalah ruang eksistensinya, maka keindahan alam menyihir
para ‘Mapala’ membuat mereka terpesona dan seharusnya takut dalam waktu yang
bersamaan, terlebih jika kerusakan alam semakin memuncak.
Mari
melakukan refleksi ulang yang lebih mendalam tentang kehancuran alam saat ini.
Cukupkah untuk mengatakan bahwa hanya kelalaian yang menyebabkan manusia di
ujung disekuilibrium dengan alam? Lantas mari bertanya posisi ontologis manusia
di alam raya ini, apakah alam bagi manusia? Bagaimana manusia melihat alam?
Atau yang lebih khusus, sebagai seorang Pencinta bagaimana para ‘Mapala’ menilai
tempat bermainnya seperti gunung, gua, tebing, laut, atau alam yang terkembang
ini sebagai rumahnya?
Menurut
Merleau-Pontry, sebelum manusia sadar dengan kemampuan nalar atau analitiknya,
relasi pertama ia menyadari dirinya hidup bersama alam. Sebelum ia memiliki
kecanggihan akal dalam membentuk struktur bahasa yang rumit, bahkan
mengandaikan adanya mesin-mesin canggih bernama teknologi, manusia melakukan
komunikasi pertamanya dengan alam. Ia berpikir tentang alam, ambiguitas,
kemewahan, keindahan, dan rasa takutnya terhadap alam. Selepas itu, ia berpikir
tentang dirinya sendiri dan apa yang dapat dilakukan untuk menyikapi hal yang
tidak diketahui tentang alam. Alam adalah ruang bagi subjek. Manusia menyadari
segala determinasi alam sebagai faktisitasnya. Kesadaran akan faktisitas
tersebutlah yang memicu lahirnya kecemasan, aspirasi, dan mendorong subjek
berpikir tentang eksistensinya bersama alam. Tanpa ruang (baca: alam) manusia
tidak akan menerima dan mengalami fenomena, hingga memungkinkan pengetahuan.
Berarti kehancuran ruang sama dengan penghancuran manusia dan kemanusiaan sebab
tanpa ruang keniscayaan untuk membangun relasi dan mengaktualkan kesadaran
aspirasi tidaklah dimungkinkan.
Di
mata Merleau-Pontry alam adalah dunia yang berbeda. Alam seharusnya tidak hanya
dilihat sebagai latar belakang bagi para ‘Mapala’, lebih dari itu alam memiliki
relasi fundamental bagi mereka yang merasa mencintainya. Terlebih dengan
pelekatan frase “Pencinta Alam”. Fundamental tidak sesempit artinya sebagai
sumber daya maupun wahana bermain dan menempa diri (baca: belajar), tetapi
mendasar bagi eksistensinya. Tanpa alam seorang ‘Mapala’ tidak akan ada artinya,
namun tidak sebaliknya. Mengingat eksistensi ‘Mapala’ yang kian hari semakin
mengerdilkan diri dari permasalahan ekologis. Seolah-olah kehancuran alam
bukanlah bagian dari kehancurannya sendiri. Seluruh eksistensi ‘Mapala’
bertopang pada alam. Oleh karena itu, jika para ‘Mapala’ hanya berdiam diri dan
sibuk berpetualang saat kondisi alamnya rusak maka pelekatan kata Cinta sudah
tidak lagi relevan bahkan cenderung tidak pantas dengan segala bentuk tindakan
yang dipertontonkan. Menyadur ungkapan terkenal Pramoedya Ananta Toer,
seharusnya: “seorang terpelajar ‘(Mapala)’ harus sudah berbuat adil sejak dalam
pikiran apalagi dalam perbuatan.” Lantas apakah para ‘Mapala’ hari ini
demikian? Mari merenungkan lebih jauh jawabannya di bangku-bangku sekretariat
sambil mencium aroma kopi masing-masing.
Oleh sebab itu kualitas seorang Pencinta Alam seharusnya tidak dinilai berdasarkan kuantitas aktivitas lapangan yang telah digeluti. Sesering apapun seorang ‘Mapala’ naik gunung, panjat tebing, susur gua, mengarungi lautan jika tidak dibarengi dengan ketajaman pikiran dan kepekaan perasaan terhadap alam dan dinamika sosial maka apa yang dilakukannya hanya bersifat mekanis (latihan menjadi robot semata) dan sama sekali tidak cukup untuk mewakili kata ‘Cinta’ sebagai identitas kebanggan. Sebagaimana yang sering diucapkan oleh Gie “…mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat”. Sekali lagi, ada perbedaan antara ‘Pencinta Alam’ dengan ‘Penggiat Alam.
Ditulis Oleh Muhammad Riski K. 134 21 563, Aktif sebagai penjaga ruangan sudut biru langit (blue sky) di KORPALA UNHAS.
Referensi
Al
Mustafa, Ostaf dan Wahyudi, A. Indra (2005). Pencinta Alamologi Pasca
Pencinta AlamoloGie. Arsip KORPALA UNHAS
Dewi,
Saras (2022). Ekofenomenologi. Tangerang Selatan: Marjin Kiri
0 Response to "Menyelisik Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam; Keharusan para Mahasiswa Pencinta Alam ‘(MAPALA)’"
Posting Komentar